Rapat dengan Jokowi, DPR Ajukan Revisi UU Pilkada
JAKARTA, (PPK Sintang) - Revisi Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi salah satu bahasan yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat bersama Presiden Joko Widodo hari ini.
Ketua Komisi II DPR bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria, Rambe Kamarul Zaman, mengatakan pengajuan revisi undang-undang ditujukan agar pilkada dapat berlangsung efisien dan efektif.
"Jadi asas pilkada serentak ini kita harus masukkan di dalam revisi undang-undang yang baru," ujar Rambe di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (18/5).
Politisi Golkar ini meyakinkan bahwa revisi yang diusulkan DPR bersifat tidak terbatas, sehingga waktu yang diperlukan untuk revisi tidak akan mengganggu tahapan pemilu. Tak hanya itu, DPR juga akan membahas soal pendanaan pilkada serentak yang masih terkendala di sejumlah daerah.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyampaikan bahwa perhatian utama rapat kali ini adalah mencari cara agar tidak boleh ada kecenderungan awal yang menyebabkan pilkada akhirnya disengketakan.
"Jadi kita harus cari jalan keluar agar dari awal semua peserta pilkada langsung tahap satu, sebanyak 286 daerah ini, harus sepakat dan kompak dari awal. Kalau enggak kompak dari awal bisa berantem. Kalau ujungnya berantem, serempak, kan bisa bermasalah. Jadi itulah sebabnya pimpinan dewan lebih cenderung pada hasil kesepakatan awal di Komisi II agar kita lakukan amandemen kembali UU Pilkada," ujar Fahri.
Menurut dia, poin perubahan yang dianggap paling penting untuk dibahas bersama Presiden Jokowi adalah soal syarat peserta pilkada, mengingat saat ini terdapat dua partai yang mengalami dualisme kepengurusan dan tengah mengajukan gugatan hukum, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dia berpendapat, UU Pilkada belum memberikan aturan yang tegas soal partai yang bersengketa, sehingga klausul soal itu harus dimasukkan ke dalam revisi. "Terkait status peserta yang penting, karena belum jelas ditetapkan di dalam undang-undang yang lama, seperti yang dialami Golkar dan PPP," kata Fahri.
Rapat pimpinan DPR bersama dengan Jokowi dilakukan sebagai tindak lanjut kebuntuan pembahasan mengenai pilkada yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.
DPR sebelumnya telah melakukan rapat konsultasi bersama KPU dan Kementerian Dalam Negeri pekan lalu. Dari rapat tersebut, muncul rekomendasi untuk melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
Revisi dilakukan untuk memberikan payung hukum bagi partai bersengketa agar dapat ikut serta dalam pilkada. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada memang tidak mengatur mengenai partai yang bersengketa.
Selain itu, revisi terbatas itu juga diusulkan untuk memberikan payung hukum bagi KPU dalam mengakomodasi keikutsertaan partai berkonflik yang memiliki dualisme kepemimpinan seperti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dalam Rapat Panitia Kerja Komisi II bersama Kemendagri sebelumnya dihasilkan rekomendasi untuk dapat menggunakan hasil pengadilan terakhir sebagai landasan pengajuan calon kepala daerah.
Namun dinamika terus berkembang. Partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat keberatan bahkan menolak revisi terbatas UU Pilkada tersebut. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo turut menolak usulan itu.
Ketua Komisi II DPR bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria, Rambe Kamarul Zaman, mengatakan pengajuan revisi undang-undang ditujukan agar pilkada dapat berlangsung efisien dan efektif.
"Jadi asas pilkada serentak ini kita harus masukkan di dalam revisi undang-undang yang baru," ujar Rambe di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (18/5).
Politisi Golkar ini meyakinkan bahwa revisi yang diusulkan DPR bersifat tidak terbatas, sehingga waktu yang diperlukan untuk revisi tidak akan mengganggu tahapan pemilu. Tak hanya itu, DPR juga akan membahas soal pendanaan pilkada serentak yang masih terkendala di sejumlah daerah.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyampaikan bahwa perhatian utama rapat kali ini adalah mencari cara agar tidak boleh ada kecenderungan awal yang menyebabkan pilkada akhirnya disengketakan.
"Jadi kita harus cari jalan keluar agar dari awal semua peserta pilkada langsung tahap satu, sebanyak 286 daerah ini, harus sepakat dan kompak dari awal. Kalau enggak kompak dari awal bisa berantem. Kalau ujungnya berantem, serempak, kan bisa bermasalah. Jadi itulah sebabnya pimpinan dewan lebih cenderung pada hasil kesepakatan awal di Komisi II agar kita lakukan amandemen kembali UU Pilkada," ujar Fahri.
Menurut dia, poin perubahan yang dianggap paling penting untuk dibahas bersama Presiden Jokowi adalah soal syarat peserta pilkada, mengingat saat ini terdapat dua partai yang mengalami dualisme kepengurusan dan tengah mengajukan gugatan hukum, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dia berpendapat, UU Pilkada belum memberikan aturan yang tegas soal partai yang bersengketa, sehingga klausul soal itu harus dimasukkan ke dalam revisi. "Terkait status peserta yang penting, karena belum jelas ditetapkan di dalam undang-undang yang lama, seperti yang dialami Golkar dan PPP," kata Fahri.
Rapat pimpinan DPR bersama dengan Jokowi dilakukan sebagai tindak lanjut kebuntuan pembahasan mengenai pilkada yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.
DPR sebelumnya telah melakukan rapat konsultasi bersama KPU dan Kementerian Dalam Negeri pekan lalu. Dari rapat tersebut, muncul rekomendasi untuk melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
Revisi dilakukan untuk memberikan payung hukum bagi partai bersengketa agar dapat ikut serta dalam pilkada. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada memang tidak mengatur mengenai partai yang bersengketa.
Selain itu, revisi terbatas itu juga diusulkan untuk memberikan payung hukum bagi KPU dalam mengakomodasi keikutsertaan partai berkonflik yang memiliki dualisme kepemimpinan seperti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dalam Rapat Panitia Kerja Komisi II bersama Kemendagri sebelumnya dihasilkan rekomendasi untuk dapat menggunakan hasil pengadilan terakhir sebagai landasan pengajuan calon kepala daerah.
Namun dinamika terus berkembang. Partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat keberatan bahkan menolak revisi terbatas UU Pilkada tersebut. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo turut menolak usulan itu.
Tidak ada komentar: